Duh … ni ngomong apa sih? Ga penting banget! Ga ada hubungan n urusannya ma aku kan … Duh … jadi bingung ni gimana caranya pamitan! Ga slesai2 critanya sih … Doh … yang dicritain zaman beheula lagi! Mana tahu ni awak zaman itu!
Dulu (mungkin sampai tulisan ini ku-posting) aku sering males banget kalau ada orang tua yang critanya nglantur ke mana2. Padahal tadi aku cuma basa-basi aja nyapa, eh malah jadi jagongan selama sejam! Dari crita zaman perjuangan dulu sampai crita keseharian dia sekarang sampai nyritain anak cucunya yang bahkan aku aja belum pernah liat fotonya apalagi ketemu! Uhhh … bete abis rasanya.
Tapi aku mulai suka mendengarkan mereka yang crita ke aku. Ya mungkin aku belum bisa dengan segenap hati mendengarkan … dan aku masih milih2 orang yang mau kudengarkan. Paling enggak, aku mulai belajar untuk menggunakan kupingku ini supaya ga sering jamuran. Mungkin mereka yang bercerita itu memang tidak punya tempat untuk bercerita atau ga punya lawan bicara yang mau mendengarkan tanpa menghakimi. Awalnya sangat membosankan. Aku sering kehilangan arah pembicaraan karena bisa jadi aku tiba2 ngelamun dan sibuk dengan pikiranku sendiri. Pas ditanya pendapatku, aku gelagepan n minta diulang lagi critanya dengan alasan yang kubuat sehingga beliaunya tidak tersinggung.
Hari Minggu kemarin, aku dan suamiku ke gereja di Klaten (tempat asal suamiku). Seusai misa, kami bertemu dengan seorang laki-laki yang sudah sangat dewasa (tepatnya malah udah jadi embah2). Suamiku menyapa dan si embah ini bercerita dengan penuh semangat. Padahal suamiku dah lama banget ga ketemu dan baru kali itu ketemu. Eh, gaya berceritanya seperti kalau mereka ketemu tiap hari. Ngomongin macem2. Mungkin suamiku juga dah ga paham konteks obrolan itu, tapi suamiku dengan bersemangat pula menanggapinya. Aku yang semula memasang senyum ramah nan tulus, lama2 jadi capek juga ni pipi. Aku mulai bosan. Duh, dah mulai malam nih … mana critanya ga bisa disela tuk berpamitan lagi. Tapi dasar suamiku yang pintar mengendalikan situasi, maka dia berusaha masuk dan menanggapi sambil berjanji kalau kapan2 mau main ke rumahnya untuk cerita lebih panjang lagi.
Saat perjalanan pulang, aku bertanya tentang si bapak tadi. Ternyata, dia itu dulunya bukan orang Katolik dan baru dibaptis belum lama ini. Dulu sering ngobrol ke sana kemari dengan suamiku di pastoran. Kesempatan itu digunakan suamiku yang dulu menangani majalah paroki. Bapak tua itu suka nembang (lagu2 berbahasa jawa), nah maka suamiku memintanya untuk mengarang tembangan yang nantinya dimuat di majalah paroki. Suamiku berkata, “Orang seperti dia itu butuh untuk didengarkan. Tidak semua orang mau mendengarkannya. Mungkin romo aja mengaku tidak punya waktu untuk mendengarkannya. Kita hanya perlu menyediakan telinga dan waktu untuk mendengarkannya.”
Waktu itu, aku langsung terdiam. Ya, selama ini aku jarang mau mendengarkan orang. Aku cuma ingin orang lain mendengarkanku. Dari situ aku juga sadar, kenapa selama ini banyak teman suamiku yang curhat tentang apa pun kepadanya. Dari masalah sepele di kerjaan, sampai masalah rumah tangga. Terkadang aku becanda, “Kok pada suka curhat ke sayangku sih? Emang ada pembawaan konsultan gitu po?” Ya, suamiku telah menyadarkanku, bahwa menjadi pendengar tidak perlu memberi komentar. Terkadang anggukan kepala dan senyum pun sudah cukup. Aku akhirnya tahu rahasia suamiku, dan aku juga baru sadar kalau selama ini aku paling nyaman dan aman curhat ke suamiku.